Abu Yazid al-Busthami

Abu Yazid Herman Bustan

Abu Yazid Al-Busthami (bahasa Arab: أبو يزيد البسطامي) adalah sufi abad III Hijriyah berkebangsaan Persia, lahir tahun 804 M/ 188H .[1][2][3] Nama kecilnya adalah Tayfur, sedang lengkapnya Abu Yazid Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Busthami.[1] Dalam literatur-literatur tasawuf, namanya sering ditulis dengan Bayazid Bastami (بايزيد بسطامى).[4] Setelah dikaruniai seorang putra bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid (arti:Ayah Yazid).[1] Al-Busthami sendiri adalah nisbah (ditujukan) pada daerah kelahirannya Bistami, Qumis, di daerah tenggara Laut Kaspia, Iran.[1][4] Ayahnya bernama Isa, sedangkan kakeknya bernama Surusyan, yang mana keduanya beragama Majusi (agama bangsa Persia yang mengajarkan penyembahan kepada api dan berhala), tetapi kemudian masuk Islam.[1][5] Kedua orangtuanya Abu Yazid adalah muslim yang taat, shaleh, wara (sederhana dan mementingkan kehalalan rizki yang dicari dan diterima), serta zuhud (berperilaku seperti yang dilakukan para pendahulu yang suka berbuat baik, meningkatkan hubungan dengan Allah untuk mencapai derajat yang mulia dan tinggi).[1][4][6][7] Sedang, kakaknya bernama Adam dan adiknya bernama Ali yang juga sufi.[1][4] Ada sufi yang memiliki nama hampir mirip dengannya, yakni Abu Yazid dan Taifur Al Bistami Al-Asghar.[4] Data hidup yang dimilikinya sangatlah terbatas.[1] Info-info mengenai dirinya di dapat dari Tayfur (cucu dari Adam).[1] Selain itu, biografi Abu Yazid juga diketahui melalui tokoh-tokoh lain yang pernah berjumpa serta mencatat ucapan-ucapannya, seperti Abu Musa al-Dabili, Abu Ishaq al-Harawi, dan lain-lain.[1] Sejarah mencatat bahwa ia tidak meninggalkan suatu tulisan, barang satupun.[1]

Saat remaja, Abu Yazid mempelajari dan mendalami Al-Qur'an serta hadits-hadits Nabi Muhammad saw.[1] Ia kemudian mempelajari fikih Mazhab Hanafi (salah satu aliran metodologi fikih yang didirikan oleh Imam Hanafi, dan merupakan salah satu mazhab yang dianut oleh kamu Sunni), sebelum akhirnya menempuh jalan tasawuf.[1] Karena ia menganut mazhab Hanafi, maka ia termasuk dalam golongan Ashaburra'yi, yakni suatu aliran yang memberikan peranan besar kepada akal /pemikiran (Arab:Al-Ra'yu) untuk memahami hukum Islam.[4]

Sebagai orang yang mengerti hukum-hukum yang dikaji melalui fikih bermazhab Hanafi, kepatuhannya pada syariat Islam sangatlah kuat.[1] Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah pernyataan yang pernah diucapkannya.[1] Ia pernah berkata demikian, "Kalau engkau melihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat, seperti duduk bersila di udara, maka janganlah engkau terperdaya olehnya. Perhatikanlah apakah ia melaksanakan perintah Tuhan, mejauhi larangan (Tuhan), dan menjaga dirinya dalam batas-batas syariat."[1] Selain itu, Abu Yazid juga pernah mengajak keponakannya, Isa bin Adam, untuk memperhatikan seseorang yang dikenal oleh masyarakat sebagai zahid (orang yang menolak dunia, berpikir tentang kematian, yang memandang bahwa apa yang dimilikinya tidaklah punya nilai dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Allah swt).[1][8][9][10] Waktu itu orang tersebut sedang berada di dalam masjid dan terlihat batuk lalu meludah ke depan, ke arah kiblat di dalam masjid).[1] Karena menyaksikan kejadian tersebut, yang mana hal ini tidak sesuai dengan adab (akhlak) yang diajarkan oleh Rasulullah saw, Abu Yazid pergi dan berkomentar, "Orang itu tidak menjaga satu adab dari adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Bila ia begitu, ia tidak dapat dipercaya atas apa-apa yang didakwakannya (omongannya tidak dapat dipercaya)."[1]

Ia juga mengungkapkan bahwa pernah terbesit di hatinya untuk memohon kepada Allah agar dia diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap makanan dan wanita sama sekali, tetapi hatinya kemudian berkata, "Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah saw?"[1] Bahkan karena begitu taatnya pada ajaran agama, dia menghukum dirinya sendiri jika melanggar.[1] Katanya, "Aku ajak diriku untuk mengerjakan sesuatu yang termasuk dalam perbuatan taat, tetapi kemudian diriku tidak mematuhinya. Oleh karena itu, selama setahun diriku tidak kuberi air (minum)."'[1] Kisah lain juga pernah ia alami.[1] Sebuah riwayat (cerita turun-temurun) memberitahukan bahwa suatu ketika ia bermalam di padang pasir dan menutup kepalanya dengan pakaian lalu tertidur.[1][11] Tak disangka, dia mengalamai hadats besar (suatu kondisi yang dapat menghalangi seseorang melakukan shalat, seperti haid, keluarnya mani, dan lain-lain), sehingga diwajibkan mandi jinabat /mandi wajib(mengalirkan air dan mengusap seluruh angota tubuh dengan melafalkan niat tertentu).[1][12][13] Akan tetapi malam itu terlalu dingin dan ketika terbangun, dirinya merasa enggan untuk mandi dengan air yang juga terlalu dingin.[1] Abu Yazid berniat untuk mandi saat matahari sudah tinggi, tetapi setelah menyadari betapa ia tidak mempedulikan kewajiban agama, akhirnya dia bangkit dan melumerkan salju pada jubahnya.[1] Setelah itu Abu Yazid mandi dengan menggunakan jubah yang basah dan dingin tersebut lalu dia dipakainya kembali.[1] Tubuhnya kedinginan, lalu ia jatuh pingsan.[1]

Banyak literatur menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 261 Hijriyah /875 Masehi.[1][14] Namun pendapat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 264 Hijriyah / 878 Masehi.[1] Abu Yazid menghabiskan seluruh hidupnya di kota kelahirannya, Bistami.[1] Pernah ada yang berkata padanya bahwa orang yang mencari hakikat (hidup) biasanya selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain.[1] Kemudian ia hanya menjawab, "Temanku (maksudnya, Tuhan) tidak pernah berpergian, dan karena itu aku pun tidak berhijrah (berpindah)dari sini."[1] Namun tidak dapat diacuhkan ketika beberapa kali ia terpaksa menyingkir dari Bistami karena munculnya tekanan dan permusuhan dari pihak yang menganggap sufisme atau tasawufnya menyimpang, tetapi hal itu hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.[1]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai Azyumardi Azra, Ilyas Ismail, dkk (2008).Ensiklopedi Tasawuf.Bandung:Penerbit Angkasa.Hal 152-159. Cet 1
  2. ^ Walbridge, John. "Suhrawardi and Illumination" in "The Cambridge Companion to Arabic Philosophy " edited by Peter Adamson, Richard C. Taylor, Cambridge University Press, 2005.Hal 206.
  3. ^ Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah (1992). Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta:Penerbit Djambatan. Hal 47-48
  4. ^ a b c d e f Abdul Fatah, dkk (1993).Ensiklopedi Islam.Jakarta:Departemen Agama Republik Indonesia. Hal 53-61
  5. ^ Hadhiri, Choiruddin (2005) .Klasifikasi Kandungan Al-Qur'an.Jakarta:Gema Insani.Jilid 2. Hal 113
  6. ^ .Ash-Shufiy, Mahir Ahmad (2007).Surga:Kenikmatan yang Kekal.Solo:Tiga Serangkai.Terj. Tim Love Pustaka.Hal 114
  7. ^ Jazuli, Ahzami Samiun (2006).Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur'an.Jakarta:Gema Insani. Terj. Sari Narulita. Hal 73
  8. ^ Sirodj, Said Aqil (2006).Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi.Jakarta:Mizan Pustaka. Hal 94
  9. ^ Al-Birgawi, Muhammad Ali (2008).Tarekat Muhammad.Jakarta:Penerbit Serambi. Terj. Syamsu Rizal Hal 242
  10. ^ Rakhmat, Jalaluddin(2008).Membuka Tirai Kegaiban: Rahasia-Rahasia Sufistik.Jakarta:Mizan Pustaka.
  11. ^ Departemen Pendidikan Nasional (2008).Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Gramedia.Cet. 1 Edisi IV. Hal 1178
  12. ^ Alim, Zezen Zainal(2012).Panduan Lengkap Shalat Sunnah Rekomendasi Rasulullah.Jakarta:PT Agromedia Pustaka.Hal 17-19
  13. ^ Hasbiyallah (2006).Fikih.Jakarta:Grafindo MediaPratama. Hal 15
  14. ^ Siradj, Said Aqil (2003).Ma’rifatullah:Pandangan Agama-Agama dan Tradisi Filsafat.Jakarta:Elsas Jakarta. Hal 43-60

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search